Minggu, 16 Mei 2010

linkulgan

A. Pengantar

Pertanyaan “Pedulikah saya pada lingkungan hidup kita?” adalah sebuah pertanyaan reflektif yang mengajak kita untuk sejenak merenungkan kehidupan di sekitar kita. Lingkungan hidup adalah “konteks” di mana kita hidup dan bertempat tinggal. Apabila lingkungan hidup tersebut terganggu dan mengalami kerusakan, maka kehidupan dan tempat tinggal kita pun akan terusik.

Tulisan di bawah ini disajikan untuk mengajak kita semua merenung dan merefleksikan sejenak keadaan serta status lingkungan hidup kita. Semoga tulisan ini dapat menjadi “cambuk” yang semakin menyadarkan kita atas kerusakan lingkungan hidup yang sudah, sedang dan akan terjadi. Pertama-tama kita akan mencoba menjawab pertanyaan paling dasar yaitu mengapa kita perlu peduli terhadap lingkungan hidup? Apakah ada alasan-alasan tertentu yang mengharuskan kita melakukan hal tersebut? Kita juga akan melihat sejauh mana cakupan masalah lingkungan hidup dalam konteks kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Bagaimana hal tersebut terkait dengan masalah etika dan moral. Apakah ada kaitan antara sikap etis dan tindakan moral manusia dengan masalah-masalah yang dialami oleh lingkungan hidup? Pada bagian akhir kita akan melihat gumpalan refleski yang juga merupakan catatan akhir dan konfirmasi bahwa kita semua memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk memelihara dan merawat lingkungan hidup.

B. Mengapa kita harus peduli terhadap lingkungan hidup?

Masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditumbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga kita. Degan mudah dan sistematis kita dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup itu dan apa saja akibat yang ditimbulkanya. Misalnya; dengan cepat dan sistematis kita dapat mengerti bahwa eksploitasi alam dan penebagan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya; penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup kita. Yang menjadi masalah adalah bahwa pengetahuan yang sama atas pengenalan kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkan tersebut tidak terjadi dalam pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup. Pertanyaanya sekarang adalah benarkah kita sudah tidak dapat berpikir secara logis dan sistematis lagi sehingga tindakan kita untuk mengeksploitasi lingkungan hidup hanya berhenti pada tahap pengeksploitasian semata tanpa diikuti proses selanjutnya yaitu tanggungjawab untuk merawat dan memilihara?

Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga terjadi karena adanya anggapan yang memandang bahwa pemanfaat alam bagi manusia itu adalah hal yang “wajar”. Menebang pohon guna kebutuhan manusia adalah hal yang sangat lumrah, misalnya. Membuang sampah sembarangan di mana pun sepertinya adalah suatu hal yang juga wajar, belum ada aturan yang ketat untuk itu. Dengan kata lain, proses kerusakan lingkungan hidup dapat digambarkan seperti seorang pecandu rokok atau minuman keras. In common sense, seorang pecandu pastilah tahu bahwa rokok atau minuman keras dapat merusak tubuh dan kesehatan mereka. Namun, mereka toh tetap menikmatinya. Mungkin, mereka baru benar-benar akan sadar terhadap dampak negatif rokok atau minuman keras ketika telah mengalami sakit keras. Proses yang sama kiranya juga terjadi atas sikap kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Kita tahu bahwa menebang pohon seenaknya atau membuang sampah sembarangan adalah suatu hal yang jelas-jelas salah, tapi kita toh tetap melakukannya berulang-ulang, sebab kita diuntungkan, tidak menjadi repot dan itu adalah hal yang sudah biasa dan mungkin kita menikmatinya. Barangkali kita baru akan benar-benar tersadar ketika terjadi bencana besar menimpa hidup kita atau sesama kita. Pertanyaannya adalah bukankah hal tersebut sama dengan para pecandu yang tidak segera berhenti merokok atau peminum yang tidak berhenti mabuk jika belum menghadapi sakit keras?.

Jika saja memang terjadi bahwa ada banyak orang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang begitu rendah dan lamban seperti yang telah kita gambarkan di atas, betapa akan lebih cepat kerusakan lingkungan hidup kita. Hal tersebut tentunya tidak boleh terjadi, sebab kita semua tidak dapat hidup jika tidak ada lingkungan hidup yang menopang dan menjamin kehidupan kita. Dalam kerangka yang lebih luas, kita tentunya tahu bahwa hanya ada satu bumi—tempat dimana kita hidup dan tinggal. Jika kerusakan lingkungan hidup berarti sama dengan kerusakan bumi, maka sama artinya dengan ancaman terhadap hidup dan tempat tinggal kita. Dengan kata lain, tugas untuk merawat dan memelihara lingkungan hidup, bumi serta segala isinya adalah tanggung jawab kita semua. Lingkungan hidup bumi serta segala isinya adalah “milik” kita.

C. Masalah Etika dan Moral

Masalah kerusakan lingkungan hidup mempunyai cakupan yang cukup luas. Ia tidak hanya dibatasi di dalam bentuk kerusakan pada dirinya sendiri. Namun, ia juga terkait dengan masalah lain. Masalah yang dimaksud adalah masalah etika dan moral.

Sebelum kita masuk pada uraian lebih lanjut, kiranya kita perlu memperjelas lebih dahulu apa itu arti etika dan moral. Etika dapat dipahami sebagai filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika memberikan orientasi pada manusia agar manusia tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap pelbagai fihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap begini atau begitu. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita. Sedangkan moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, kotbah-kotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia[1].

1. Masalah Etika

Masalah lingkungan hidup menjadi masalah etika karena manusia seringkali “lupa” dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam. Karena “lupa” dan kehilangan orientasi itulah, manusia lantas memperlakukan alam secara tidak bertanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, mereka juga tidak lagi menjadi kritis. Oleh karena itulah pendekatan etis dalam menyikapi masalah lingkungan hidup sungguh sangat diperlukan. Pendekatan tersebut pertama-tama dimaksudkan untuk menentukan sikap, tindakan dan perspektif etis serta manejemen perawatan lingkungan hidup dan seluruh anggota ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, sudah sewajarnyalah jika saat ini dikembangkan etika lingkungan hidup dengan opsi “ramah” terhadap lingkungan hidup.

Teori etika lingkungan hidup sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya[2]. Paling tidak pendekatan etika lingkungan hidup dapat dikategorikan dalam dua tipe yaitu tipe pendekatan human-centered (berpusat pada manusia atau antroposentris) dan tipe pendekatan life-centered (berpusat pada kehidupan atau biosentris). Teori etika human-centered mendukung kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. Sedangkan teori etika life-centered adalah teori etika yang berpendapat bahwa kewajiban manusia terhadap alam tidak berasal dari kewajiban yang dimiliki terhadap manusia. Dengan kata lain, etika lingkungan hidup bukanlah subdivisi dari etika human-centered[3].

Pada umumnya, paling tidak semenjak jaman modern, orang lebih suka menggunakan pendekatan etika human-centered dalam memperlakukan lingkungan hidup. Melalui pendekatan etika ini, terjadilah ketidakseimbangan relasi antara manusia dan lingkungan hidup. Dalam kegiatan praktis, alam kemudian dijadikan “obyek” yang dapat dieksploitasi sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan manusia. Sangat disayangkan bahwa pendekatan etika tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha yang memadai untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup dan makhluk-makhluk lain yang ada di dalamnya. Dengan latar belakang seperti itulah kerusakan lingkungan hidup terus-menerus terjadi hingga saat ini. Pertanyaanya sekarang adalah apakah pendekatan etika human-centered tersebut tetap masih relevan diterapkan untuk jaman ini?

Menghadapi realitas kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya pendekatan etika human-centered tidak lagi memadai untuk terus dipraktekkan. Artinya, kita perlu menentukan pendekatan etis lain yang lebih sesuai dan lebih “ramah” terhadap lingkungan hidup. Jenis pendekatan etika yang kiranya memungkinkan adalah pendekatan etika life-centered yang tadi sudah kita sebutkan. Pendekatan etika ini dianggap lebih memadai sebab dalam praksisnya tidak menjadikan lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya sebagai obyek yang begitu saja dapat dieksploitasi. Sebaliknya, pendekatan etika ini justru sungguh menghargai mereka sebagai “subyek” yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka memiliki nilai tersendiri sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai mereka tidak ditentukan dari sejauh mana mereka memiliki kegunaan bagi manusia. Mereka memiliki nilai kebaikan tersendiri seperti manusia juga memilikinya, oleh karena itu mereka juga layak diperlakukan dengan respect seperti kita melakukanya terhadap manusia[4].

2. Masalah Moral

Dalam kehidupan sehari-hari tindakan moral adalah tindakan yang paling menentukan kualitas baik buruknya hidup seseorang. Agar tindakan moral seseorang memenuhi kriteria moral yang baik, ia perlu mendasarkan tindakanya pada prinsip-prinsip moral secara tepat. Prinsip-prinsip moral yang dimaksud di sini adalah prinsip sikap baik, keadilan dan hormat terhadap diri sendiri[5]. Prinsip-prinsip moral tersebut disebutkan rasanya juga perlu untuk dikembangkan lebih jauh. Artinya, prinsip moral semcam itu diandaikan hanyalah berlaku bagi sesama manusia. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak hanya berjumpa dan berinteraksi degan sesamanya. Bisa saja terjadi bahwa seseorang lebih sering berinteraksi dan berhubungan dengan makhluk non-human atau lingkungan hidup di mana ia tinggal, bekerja dan hidup. Maka rasanya kurang memadai jika dalam konteks tersebut tidak terdapat prinsip-prinsip moral yang jelas seperti ketika seseorang menghadapi sesamanya. Dengan kata lain, rasanya akan lebih baik jika terdapat prinsip-prinsip moral yang menjadi penentu baik buruknya tindakan seseorang dengan lingkungan hidup dan unsur-unsur kehidupan lain di dalamnya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya jika kita kembali pada pemahaman tentang teori etika life-centered. Kita kembali pada konsep etika tersebut karena melalui pendekatan etika tersebut, kita dapat menemukan konsep moral yang lebih memadai bagi manusia dalam menentukan sikap, tindakan dan perspektifnya terhadap lingkungan hidup dan makhluk non-human. Life-centered atau biosentris posisi mungkin kelihatan sebagai sebuah pendirian yang aneh. Bagi beberapa orang, hal itu mungkin dianggap keliru, khususnya ketika semua bintang dan tumbuhan dimasukkan sebagai gologan subyek moral. Bagaimana mungkin kita sebagai manusia punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap nyamuk, cacing, semut dan lebah? Alasan apa yang dapat membenarkan pandangan semacam itu? Apakah ada artinya membicarakan tentang bagaimana memperlakukan tanaman atau jamur dengan benar atau salah?[6] Pertanyaan-pertanyaan tersebut rasanya perlu lebih dahulu dijawab untuk menentukan apakah mereka yang kita bicarakan layak disebut sebagai agen moral.

Sebelum kita menjawab beberapa pertanyaan di atas, rasanya terlebih dahulu perlu kita ketahui apa saja yang menjadi kriteria “sesuatu” dapat disebut sebagai agen moral. Yang dapat disebut sebagai agen moral adalah sebenarnya apa saja yang hidup, yang memiliki kapasitas kebaikan atau kebajikan sehingga dapat bertindak secara moral, memiliki kewajiban dan tanggungjawab, dan dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakanya. Yang lebih penting lagi adalah; agen moral dapat memberikan penilaian yang benar dan salah; dapat diajak dalam proses delibrasi moral; dan dapat menentukan keputusan berdasarkan semua alasan yang telah disebutkan[7]. Dengan melihat definisi tersebut, mingkin kita akan berpendapat bahwa semua itu adalah kapasitas yang hanya dimiliki oleh manusia. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendapat semacam itu benar seluruhnya?

Dugaan bahwa seluruh kapasitas sebagai agen moral di atas hanya dimiliki oleh manusia tidaklah seluruhnya benar. Dalam kenyataan ada juga pengecualian-pengecualian yang dapat menjadi halangan bagi manusia untuk menjadi agen-agen moral, contohnya adalah anak-anak yang masih berada di bawah umur dan mereka yang mengalami cacat mental. Anak-anak dan mereka yang mengalami cacat mental jelas-jelas adalah manusia. Akan tetapi, mereka tidak dapat disebut sebagai agen moral sebab mereka memiliki keterbatasan baik yang tidak permanen maupun yang permanen. Oleh karena itu, apabila mereka melakukan tindakan yang melanggar nilai-nilai moral tidak dapat dikenakan sanksi.

Apabila kita kembali melihat kriteria agen moral, dapat disimpulkan bahwa ada makhluk hidup lain bukan manusia yang memiliki kapasitas sebagai agen moral. Bukan tidak mungkin bahwa makhluk non-human memiliki kapasitas-kapasitas yang telah disebutkan di atas sebagai kriteria untuk menjadi agen moral. Semut dan lebah pekerja yang bekerja degan giat dengan penuh rasa tanggungjawab untuk mengumpulkan makanan dan madu demi kebaikan bersama komunitas mereka tidak dapat diabaikan sebagai agen moral jika kita diukur dengan menggunakan kepemilikan kapasitas dapat bertbuat baik dan bertanggungjawab. Begitu juga halnya dengan tanaman; pohon pisang yang rela menghasilkan buah bukan demi untuk dirinya sendiri tetapi demi kebaikan entah bagi manusia atau makhluk yang lain pun juga tidak dapat diingkari keberadaanya sebagai agen moral. Dengan kata lain, pohon pisang juga memiliki kapasitas kebaikan yang layak menjadikan dirinya sebagai agen moral.

2.1.Ekspresi moral

Dalam bidang kehidupan manusia, altruisme dan self-sucrifice secara umum diartikan sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas[8]. Altruisme dan self-sucrifice adalah tindakan yang jelas mencerminkan bagaimana suatu aksi tidak hanya dimaksudkan demi kebaikan pribadi. Hal tersebut jelas menjadi representasi dari kriteria diri sebagai agen moral. Jika kita menggunakan kacamata yang lebih luas, ekspresi tertinggi moralitas bisa jadi bukan hanya sekedar monopoli bidang kehidupan manusia. Artinya, dengan menggunakan kriteria yang sama yaitu altruisme dan self-sucrifice sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas, makhluk non-human pun sebenarnya juga dapat melakukanya. Di atas telah disebutkan bahwa semut, lebah, serta tumbuhan dapat merepresentasikan tindakan altruis dan self-sucrifice. Oleh karena itu, rasanya tidaklah terlalu berlebihan jika kita menyebut mereka sebagai makhluk yang juga memiliki ekspresi moral.

Sampai sejauh ini, rasanya tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengecualikan makhluk non-human sebagai makhluk yang tidak pantas disebut sebagi agen moral. Jika memang benar demikian sebenarnya tidak juga ada alasan yang berarti untuk melakukan eksploitasi terhadap mereka. Hanya saja, perlu di sadari bahwa seringkali yang menjadi masalah bukan karena manusia tidak tahu bagimana cara menghargai makhluk non-human dan memandangnya sebagai makhluk yang tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya[9], tetapi karena sebagain manusia terlalu sering menggunakan ukuran kemanusiaannya untuk dikenakan terhadap makhluk hidup di luar dirinya. Standar yang mereka berlakukan kadangkala tidak tepat sehingga merugikan peran dan keberadaan makhluk non-human. Jika kita ingin mencari pendekatan yang lebih baik, standarisasi tersebut tentunya perlu juga berorientasi terhadap kelebihan dan kekurangan makhluk non-human itu sendiri. Dengan demikian, tidak perlulah terjadi pembedaan yang berat sebelah antara manusia dan makhluk non-human dalam penentuannya sebagai agen moral dalam komunitas kehidupan di bumi.

2.2 Pengembangan Prinsip Moral

Pendekatan etika life-centered sepertinya adalah salah satu pendekatan etika yang paling cocok untuk lingkungan hidup jaman ini. Pendekatan tersebut kiranya juga memberikan kondisi yang sangat mendukung untuk makhluk non-human yang kerapkali diabaikan oleh manusia. Dengan pendekatan yang sama terbuka juga kemungkinan untuk membangun prinsip-prinsip dasar moral lingkungan hidup.

Dalam pembicaraan kita sebelumnya disebutkan bahwa prinsip-prinsip moral berupa sikap baik, keadilan dan hormat terhadap diri sendiri adalah prinsip-prinsip yang rasanya kurang memadai untuk mengatur hubungan manusia dengan makhluk non-human. Oleh karena itu, mungkin ada baiknya jika prinsip-prinsip dasar tersebut dikembangkan lebih luas. Artinya, prinsip sikap baik dan rasa tanggungjawab tidak hanya dibatasi dan diberlakukan antar sesama manusia tetapi diperluas hingga mencakup makluk non-human dan seluruh unsur yang terdapat di alam semesta. Begitu juga dengan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Kiranya prinsip tersebut dapat diperluas jangkauanya menjadi prinsip yang bukan hanya dimaksudkan untuk menghormati diri sendiri semata tetapi juga untuk sesama, makhluk hidup non-human dan seluruh ansur yang terdapat di dalam alam semesta seperti yang semestinya terjadi untuk prinsip sikap baik dan tanggungjawab.

Pilihan untuk memperluas cakupan prinsip-prinsip moral tidak dimaksudkan untuk menambah kerepotan manusia dalam bersikap baik, bertanggug jawab dan berlaku hormat. Dalam penjelasan sebelumnya telah dikatan bahwa makhluk selain manusia pun dalam arti terterntu memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Kalau pun terjadi bahwa makhluk selain manusia terbukti tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab, adalah kewajiban kita sebagai manusia untuk paling tidak memberikan hak semestinya bagi mereka.

Perluasan prinsip moral yang sudah kita sebutkan di atas pada akhirnya dapat disebut sebagai kajian bidang moral tersendiri. Bidang yang dimaksud di sini adalah bidang moral lingkungan hidup. Moral lingkungan hidup seringkali dilukiskan sebagai ‘evolusi alamiah dunia moral’. Maksudnya, dunia moral lambat laun semakin memperhatikan jagat rasa dan masalah-masalah ekologis. Sebelumnya dunia moral hanya memperhatikan hubungan sosial antarpribadi dan kemudian hubungan atara perseorangan dengan seluruh masyarakat[10]. Namun ternyata dalam perjalanan waktu pendekatan moral semacam itu tidak memadai dan perlu diperluas.

D. Penutup

Lingkungan hidup dan segala unsur yang terdapat di dalamnya memiliki daya pikat yang luar biasa. Ia menyajikan berbagai macam bentuk sumber kehidupan entah itu berupa udara, makanan, kekayaan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Maka, tidak mengherankan jika manusia memiliki kehendak yang bagitu kuat untuk menguasai dan memiliki sember-sumber kehidupan tersebut. Tidak jarang terjadi bahwa sumber-sumber kehidupan yang terbatas itu diperebutkan dan kemudian diabaikan sebagai entitas yang seharusnya dipelihara dan dirawat. Yang terjadi kemudian adalah kegiatan eksploitasi dan pengrusakan lingkungan hidup untuk berbagai macam tujuan, entah dengan alasan bagi penghidupan manusia itu sendiri atau hanya sekedar untuk menumpuk kekayaan. Dalam keadaan seperti itu, lingkungan hidup dan segala isinya semakin “dilupakan”. Manusia tidak lagi peduli bahwa lingkungan hidup yang memiliki keterbatasan telah menderita, mengalami kerusakan dan merana ditinggalkan.

Kerusakan lingkungan hidup sebenarnya tidak akan terjadi jika saja setiap dari kita memiliki rasa tanggungjawab dan sense of belonging yang tinggi. Lingkungan hidup dan segala isinya adalah“ milik kita” yang harus dijaga dan dipelihara. Untuk itu, kita hasus selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang kita lakukan terhadap lingkungan hidup dan unsur-unsur lain yang ada di dalamnya. Selain dapat diartikan sebagai “milik kita” lingkungan hidup adalah sesuatu yang terbatas, ia membutuhkan perawatan dan pembaharuan. Itulah sebabnya kita sebagai manusia yang tidak dapat hidup tanpa adanya lingkungan hidup memiliki kewajiban untuk melakukan perawatan dan pembaharuan tersebut.

Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk merawat dan membaharui lingkungan hidup di sekitar kita. Salah satu caranya adalah melalui tindakan etis dan sikap moral yang tepat. Kita perlu sungguh menyadari bahwa ada bentuk kehidupan lain di luar kehidupan yang dimiliki oleh manusia. Hal itu berarti bahwa manusia memiliki tanggung jawab yang lebih luas. Ia tidak hanya dituntut untuk menghargai diri dan sesamanya, tetapi juga menghargai makluk hidup lain yang juga menjadi bagian dalam komunitas kehidupan di bumi dengan tindakan etis dan sikap moral yang sesuai. Jika hal itu sungguh-sungguh dilakukan maka akan terwujudlah suatu keharmonisan. Keharmonisan itu sendiri merupakan sebuah cita-cita yang ingin selalu capai oleh cara hidup organik. Cara hidup organik adalah sebuah cara hidup yang memandang bahwa antara manusia dengan lingkungan hidup, segala makhluk dan benda yang ada di dalamnya memiliki keterkaitan yang sangat dalam dan dapat hidup dalam keselarasan. Cara hidup organik adalah sebuah cara hidup yang mengundang kita untuk merasa kerasan dengan kehidupan di bumi ini. Hal tersebut adalah sebuah undangan yang sulit untuk ditolak[11].

Akhirnya, semua bentuk kesadaran, pengetahuan, tidakan dan sikap terhadap lingkungan hidup dan segala makhluk di dalamnya dikembalikan pada kita. Kita sebenarnya juga diajak untuk memulai suatu cara hidup baru yaitu dengan memberikan respect yang tinggi terhadap lingkungan hidup dan makluk hidup lain yang ada di dalamnya sebagai sama-sama anggota komunitas kehidupan di bumi. Bagaimana hal itu harus dijalankan? Ini adalah pertanyaan yang perlu segera kita jawab bersama-sama.
Dieng SJ

Daftar Pustaka

Chang, William. 2001. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius.

Haught, John F. 2006. Is Nature Enough?: Meaning and Truth in the Age of Science. New York: Combridge.

Magnis-Suseno, Franz.1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Kanisius: Yogyakarta.

McFague, Sallie. 1993.The Body of God: An Ecological Theology, Britain: SCM Press.

Taylor. Paul W. 1986. Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics. New Jersey: Princenton University Press.



[1] Franz Magnis- Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius: Yogyakarta, 1987, hlm. 14-19

[2] Paul. W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics, Princenton Press University: New Jersey, page. 9

[3] Ibid, page. 12

[4]. Paul. W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics, Princenton Press University: New Jersey, page. 13

[5] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius: Yogyakarta, 1987, hlm. 129

[6]Paul. W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics, Princenton Press University: New Jersey, page. 20

[7] Ibid, hlm. 14

[8] John. F. Haught, Is Nature Enough? Meaning and Truth in the Age of Science, Combridge University Press: United Kingdom, 2006, page. 143

[9] William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Kanisius: Yogyakarta, 2001, hlm..31

[10] William, Chang, Moral Lingkungan Hidup, Kanisius: Yogyakarta, 2001, hlm. 33

[11] Sallie, McFague, The Body of God: An Ecological Theology, SCM Press: Britain, 1993, page. 31

reply

Tidak ada komentar:

Posting Komentar