Minggu, 16 Mei 2010

link

REFORMASI POLITIK UNTUK MENYELAMATKAN LINGKUNGAN

Oleh: Emmy Hafild

Diterbitkan oleh: WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Mampang Prapatan IV,
JLK No. 37, Jakarta 12790
Telp. 7941672, Fax. 7941673, E-mail:walhi@pacific.net.id

Tanah air kita sedang dalam keadaan sakit. Setelah heboh asap dan kebakaran tahun Ialu, yang memalukan bangsa kita, saat ini ratusan ribu hektar hutan sedang marak terbakar di Kalimantan Timur. Disebagian belahan Tanah Air, rakyat kita menderita karena banjir, sedangkan dibagian belahan lain kekeringan dan ancaman kelaparan. Musim kemarau kita kekeringan dan kebakaran, musim hujan kita kebanjiran.

Dari luas hutan Indonesia 143 juta hektar pada tahun 30-an, maka hanya 37% saja (53 juta hektar) hutan asli yang tersisa. Kalau tidak dilakukan upaya serius untuk menangani masalah ini, maka sisa hutan yang 37% inipun akan berkurang. Selain itu, akibat adanya pembukaan hutan untuk berbagai macam tujuan juga telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki daftar species terancam punah terpanjang di dunia, yang mencakup 104 jenis burung, 57 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar dan 281 jenis tumbuhan. Hasil studi dari foto satelit yang dilakukan pemerintah pada tahun 1982 menunjukkan bahwa tutupan hutan Indonesia (forest coverage) adalah 119,3 juta hektar (Iihat RePPProT, 1990, hal 158).

Sementara itu, Citra Satelit yang dilakukan Departernen Kehutanan menunjukkan luas tutupan hutan tahun 1993 sebesar 92,4 juta hektar (termasuk hutan bekas tebangan HPH atau logged forests), dengan kawasan hutan tetap yang tidak berhutan seluas 20,6 juta hektar. Dengan demikian, maka Iaju deforestasi dari tahun 1982 sampai 1993 adalah sebesar 2,4 juta hektar. Angka deforestasi tahunan ini jauh melebihi deforestasi yang diduga oleh
Departernen Kehutanan dan FAO, yakni seluas 900 ribu hingga 1,3 juta hektar pada tahun 1990, dan lebih tinggi dari rata-rata laju deforestasi hutan tropik di seluruh dunia, yang hanya 987 ribu hektar per tahunnya.

Tidak hanya hutan, sungai kita pun sedang sakit. Sungai menjadi tempat pembuangan segala macam kotoran, sehingga akibatnya hampir seluruh sungai kita tercemar logam berat. Hampir 80% sumber air PAM di Surabaya berada di bawah kualitas standard yang ditentukan, dan 55%nya terkontaminasi bakteri coli. Dernikian pula dengan air sungai di Jakarta, bahkan lebih buruk lagi kondisinya.

Dari hasil monitoring Bapedal terhadap beberapa kualitas air sungai yang dikutip oleh World Bank, maka diperhitungkan 25-50% dari polutan yang mencemari sungai berasal dari industri. Kurang lebih 2,2 juta ton limbah B3 tiap tahun dibuang ke sungai di Jakarta dan Jabar saja. Sisanya berasal dari rumah tangga, permakaian peptisida dan dari erosi. Studi yang,dilakukan oleh JICA terhadap kualitas air sumur memperlihatkan bahwa 73% sumur terkonta-minasi oleh amoniak. Tingkat konsentrasi pencemaran kimia juga tinggi di hampir seluruh sumur, dan 13 % dari sumur yang diperiksa di Jakarta Selatan mengandung merkuri. Situasi ini menyebabkan hampir seluruh air sungai di pulau Jawa tidak layak untuk dijadikan air minum.

Udara perkotaan kita pun sesak dan sumpek karena asap dari kenderaan bermotor maupun dari pabrik dan pembakaran sampah. Udara yang kotor menjadi pembunuh nomor dua bagi anak balita di Jakarta, dan penyebab bagi 6 % total kematian di Indonesia. Dari perhitungan World Bank setiap kelebihan l0 (g/m3) konsentrasi debu di udara, menyebabkan angka kematian rata-rata l500 orang.

Bahan bakar minyak kita paling terbelakang di dunia, karena masih mengandung timbal (timah hitam). Timbal ini menjadi sumber pencemar utama dari bahan bakar, selain gas buangan lainnya. Di dunia, Indonesia salah satu dari sedikit negara yang masih memakai timbal, satu-satunya di Asia Tenggara yang belum mempunyai kebijakan efektif untuk menghapus timbal dari kita. Kenapa? Karena kita menunggu salah satu pabrik yang dibuat oleh salah seorang anggota keluarga pemimpin kita yang akan menyuling minyak bebas timbal.

Kita mempunyai garis pantai terpanjang di dunia, laut dan perairan pantai kita mengandung 10% dari keragaman hayati laut di dunia. Tetapi, hampir 70% dari terumbu karang Indonesia rusak parah, karena endapan erosi, penangkapan ikan yang merusak, pengambilan batu karang, dan penangkapan ikan dengan bom atau racun. Tiga puluh persen produksi perikanan laut tergantung pada kelestarian hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan jenis-jenis ikan yang tinggi nilai komersilnya. Saat ini, dari total luas mangrove yang 3 juta hektar, hanya 36% saja yang masih dalam keadaan baik, sisanya sudah ditebang untuk diambil kayunya, ataupun dikonversikan ke tambak.

Kita juga kaya dengan sumber daya mineral, minyak, emas, perak, bauxit, tembaga dsb. Saat ini, ada kurang lebih 833 kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung di Indonesia dengan total area kurang lebih 36 juta hektar. Kegiatan pertambangan adalah kegiatan yang paling merusak di muka bumi ini. Praktek pertambangan di Indonesia telah menyebabkan kubangan kubangan raksasa yang bersifat asam, seperti bekas pertambangan timah di pulau Bangka/Belitung, pertambangan Freeport di Irian Jaya dan P.T. KEM di Kalimantan Timur, sedikit dari sekian puluh lokasi pertambangan yang merusak.

Artinya, bahwa dari 36 juta hektar dari seluruh kawasan pertambangan Indonesia, ada jutaan hektar yang potensi untuk menjadi kubangan-kubangan raksasa, gersang dan bersifat asam, kalau tingkah laku perusahaan tambang seperti PT KEM dan P.T Freeport Indonesia tersebut dibiarkan berlangsung. Selain dari 36 juta hektar ini, lebih dari 200 Kontrak Karya sedang diproses di Deptamben. Kalau saja 20% dari total areal itu akan rusak untuk selamanya, maka akan ada kurang lebih 7,2 juta hektar tanah gersang, asam dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Ini hampir sama luasnya dengan luas wilayah propinsi Sumatera Utara. Semua itu meningkat dengan pesat sejak 30 tahun terakhir, dengan alasan pembangunan.

Hutan ditebang katanya demi rakyat, tetapi rakyat disingkirkan dari ekonomi perkayuan, dan hak penebangan kayu diberikan kepada segelintir pengusaha bermodal kuat yang mempunyai koneksi dengan kekuasaan. Sekarang sejak kayu sudah mulai berkurang, hutan ditebang habis untuk digantikan dengan kelapa sawit. Siapa yang dapat?

Kelompok yang sama. Hal yang sama terjadi pertambangan. Rakyat digusur dan penambang rakyat disingkirkan, hanya untuk diberikan kepada perusahaan besar dengan modal kuat. Kalau bahan tambang sudah habis dikuras, maka rakyat ditinggalkan dengan kondisi lingkungan yang rusak parah, tanpa ada upaya untuk memperbaiki. Dan ini dilakukan atas nama rakyat!

Kita sudah punya Menteri Lingkungan Hidup sejak 20 tahun yang Ialu. Undang-undang lingkungan hidup sudah ada sejak 16 tahun yang lalu. Tetapi apakah kualitas lingkungan hidup kita meningkat? Belum, masih jauh dari impian. Kualitas lingkungan hidup kita sangat cepat menurun. Pada dekade 50-an sampai 60-an misalnya, Iaju kerusakan hutan Indonesia masih tercatat seluas 300 ribu hektar per tahunnya. Pada dekade 60-an tercatat 600 ribu hektar per tahun, dan terus meningkat antara 900 ribu sampai 1,3 juta hektar pertahun pada dekade 70-an. Pada dekade 80-an sampai 90-an, menurut perhitungan dari luas tutupan hutan, Iaju kerusakan hutan sebesar 2,4 juta hektar per tahunnya. Upaya untuk rehabilitasi hutan sangat lemah, walaupun trilyunan rupiah dikumpulkan untuk itu. Setiap tahun kita hanya mampu merehabilitasi hutan seluas 70 ribu hektar. Dengan perhitungan yang kasar, dan tanpa adanya perubahan tingkahlaku, maka tahun 2023, hutan kita tinggal 19 juta hektar saja.

Bagaimana Sikap Kita Sebagai Bangsa?

Sebagai bangsa Indonesia, kami sebenamya malu menghadap dunia, karena kami mewakili sebuah NGO terbesar dan tertua di bidang advokasi lingkungan hidup di Indonesia. Artinya, bahwa selama 17 tahun kami berdiri, tidak banyak yang telah kami lakukan untuk melestarikan lingkungan, sehingga bencana lingkungan terbesar ini dapat terjadi. Masalah lingkungan hidup yang kita hadapi memang besar, merupakan kombinasi dari masalah struktural politik yang otoriter, korup dan didominasi oleh kepentingan kelompok tertentu, serta paradigma pembangunan yang masih mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengenyampingkan ecological sustainability (keberlanjutan ekologis). lndonesia sudah mempunyai Menteri Lingkungan Hidup sejak tahun 1978, Undang-undang lingkungan Hidup sejak tahun 1982, dan berbagai aturan yang menyangkut perlindungan hutan dan lingkungan. Tetapi semua undang-undang dan peraturan tersebut hanya tinggal di atas kertas saja, mereka tidak mempunyai kekuatan di dalam menghadapi pengusaha besar yang sangat dekat dengan penguasa.

Menteri lingkungan hidup tidak mempunyai kekuatan untuk menindak pelanggar undang-undang lingkungan, sedangkan lembaga legislatif dan yudikatif tidak mampu melaksanakan fungsinya, karena semua kekuatan politik ada di tangan pernerintah. Pencemar bebas berkeliaran dan terus melakukan pencemaran, pembakar hutan dicabut sementara ijin kegiatannya untuk kemudian dikembalikan lagi.

Dana reboisasi digunakan untuk membangun pesawat terbang dan pabrik pulp serta kertas. Upaya pemadaman kebakaran dilakukan dengan setengah hati sehingga kebakaran hutan kecil yang sebenamya bisa dikendalikan sejak dini, menjadi besar dan tidak terkendali. Sementara pemimpin negara dan pejabat berbicara seolah-olah tidak ada masalah serius yang kita hadapi sebagai bangsa, dan sekali lagi meminta pengorbanan rakyat untukmengatasi krisis. Sementara rakyat yang memprotes terjadinya kerusakan lingkungan diintimidasi, distigmatisasi, malah diajukan sebagai kriminal terhadap tindakan yang tidak dilakukannya.

Kelompok-kelompok lingkungan yang kritis dicap sebagai komunis, agen asing, anti pernbangunan, bermasalah, agen GPK dsb. Kelompok-kelompok rakyat dipecah belah, dan peran rakyat yang dijamin dalam UU Pokok Lingkungan Hidup diminimalisir dan dihalangi oleh undang-undang politik. Kemudian setelah opini publik berkembang sedemikian rupa, yang dapat membahayakan kestabilan politik dan kepentingan kelompok-kelompok kuat, maka terlihat adanya upaya untuk menutup-nutupi sebab musabab krisis, dan mulai menyalahkan media massa yang memberitakan pemberitaan tendensius dan tidak berdasarkan fakta.

Maka, EL Nino pun menjadi kambing hitam, dan kepentingan luar negeri yang tidak senang kepada Indonesia dijadikan kambing hitam atas krisis ekonomi. Surat kabar "diperintahkan" untuk membawa kembali opini masyarakat kepada EI Nino sebagai penyebab kebakaran, dan bukan sebagai akibat dari ulah perusahaan-perusahaan besar.

Lalu kemudian, berdasarkan pengalaman yang lalu, setelah asap berlalu, dan hujan turun, maka kembalilah kita kepada kebiasaan lama, yaitu "business as usual". Perusahaan akan kembali bekerja seperti dulu, pengawasan tidak diperketat, kalau ada pelanggaran bisa diselesai-kan dengan "cin-cay" di lapangan, ijin IPK yang dieabut akan dipulihkan karena perusahaan telah memenuhi persyaratan, dan tiga tahun lagi (mungkin dua tahun) pada saat EI Nino datang lagi, kita akan mengalami hal yang sama seperti sekarang bahkan kondisinya lebih parah.

Kalau dulu, pada awal Order Baru, sangat gampang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena sumber daya alam kita masih melimpah, dan daya dukung alam dan ekosistem serta rakyat kita masih kuat. Sekarang, sumber daya alam yang siap dirubah menjadi dolar tanpa investasi yang panjang seperti hutan, sudah mulai berkurang. Kalau perilaku penguasa masih seperti ini, maka niscaya negara kita akan bangkrut.

Masalah lingkungan hidup adalah masalah politik, maka penyelesaiannya pun menyangkut penyelesaian politik pula. Adalah kesalahan besar bangsa Indonesia kalau praktek seperti ini masih diteruskan. Sebagai rakyat Indonesia, kita harus mencegah agar tanah air yang kita cintai ini, yang kita pertahankan dengan darah dan keringat rakyat Indonesia, tidak dibawa ke jurang kehaneuran.

Saatnyalah kita bertindak, bersatu padu, bergandengan tangan untuk membawa bangsa dan negara kita kepada reformasi di segala kehidupan bangsa. Ruwatan bumi yang kami maksudkan disini adalah sebuah upacara simbolis untuk membulatkan tekad kita melakukan reformasi di segala bidang kehidupan. Upaya untuk memperbaiki diri, sehingga bumi tidak kehilangan keseimbangan daya dukung bagi penghuninya. Tolak bala adalah suatu upacara simbolis untuk mengusir hal-hal buruk (bala) yang terjadi pada kita saat ini, termasuk didalamnya sifat-sifat dan kebiasaan buruk yang ada dalam diri kita masing-masing.

Sifat rakus dan tamak, haus kekuasaan, menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kita buat, menghidupi teman-teman dekat (koncoisme), dll. Semua ini kita lakukan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita di masa Ialu. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan ini, kita memerlukan pemimpin baru dengan perilaku baru pula. Pemimpin dari rakyat, dan bekerja untuk rakyat, dan yang mendengar suara-suara rakyat. Pemimpin yang bekerja untuk melindungi kepentingan rakyat dan bukan kepentingan keluarga dan teman-teman dekatnya.

Kita perlu pemerintahan yang mewakili kepentingan rakyat dan bukan mewakili kepentingan pemilik modal kuat. Kita memerlukan darah baru dan pemikiran baru yang akan membawa kita ke milenium mendatang kepada kesejahteraan dan bukan ke penderitaan. Bangsa yang kuat dan mampu menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan adalah bangsa yang mampu melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan masa lalu. Bangsa yang mampu melakukan koreksi adalah bangsa yang mempunyai kelompok-kelompok masyarakat yang kritis, kreatif, bebas dan bertanggungjawab.

Kelompok masyarakat ini hanya tumbuh dari suatu masyarakat yang bebas dari rasa takut, bebas mengeluarkan pendapat, bebas beroganisasi dan berkumpul, bebas dari intimidasi dan ancaman aparat negara. Ini adalah demokratisasi seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara kita.

Untuk itu, WALHI menyatakan mendukung perjuangan mahasiswa untuk reformasi politik di Indonesia. Tuntutan mahasiswa agar pemimpin yang tidak mampu lagi bertindak untuk kepentingan rakyat agar mundur secara simpatik dan digantikan oleh pemimpin hasil pilihan rakyat secara bebas, jujur dan adil haruslah kita dukung. Jangan kita biarkan mahasiswa sendirian, karena mereka berjuang untuk kepentingan bangsa ini.

Perjuangan mahasiswa tidak akan berhasil dan akan berakhir pahit kalau tidak didukung oleh majoritas masyarakat Indonesia. Jangan biarkan tragedi Malari 74 dan 1978 terdjadi kembali terjadi pada mahasiswa kita. Reformasi hanya bisa terjadi kalau kita bersatu dan mununtutnya, reformasi tidak bisa diberikan oleh penguasa [TAMAT].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar